Kisah Sahabat untuk Sahabat.

Kisah Sahabat untuk Sahabat.

Pintu dikuak perlahan, Ana melangkah masuk menuju ke meja studi mendapatkan gumpalan kunci. Terlihat sebatang tubuh yang masih di pembaringan dengan mata yang baru terjaga. Ana menyapa lembut “Asiah,  dah bangun..? saya nak ke blok sebelah ni”. Aku sekadar menyahut dengan sepatah jawapan. Mata terasa ingin tertutup kembali. Beberapa minit kemudian, aku bingkas bangun tatkala teringatkan Dja. Langkah dilebarkan kesegenap ruang rumah. Tiada siapa yang wujud selain aku dan Miza bersebelahan bilik. Melihatkan Miza yang khusyuk melayan game, aku bertanyakan tentang isi rumah yang lain. “mane yang lain?” soalku. Miza berpaling bertentang mata dan menjawab, “diorang ade kat rumah kak Yah asenya”. Timbul persoalan baru di benakku, “abes Dja pegi masjid dengan sape?”. “Ntahlaa”. Miza gagal pastikan jawapan soalan terakhirku. Aku berlalu semula ke bilikku dengan menanam yakin bahawa Dja bersama Ekien di masjid. Terdetik rasa bersalah padanya tatkala Dja mengajak menemaninya ke masjid bagi menyambut malam nisfu Sya’aban bersama para Jemaah. “Asiah, bangunlah teman Dja. Kita pegi masjid malam ni.. ade qasidah, ceramah…jomla”. Aku memisat mata yang memberat. Lensaku terfokus pada wajahnya yang tampak mengharap. “alaa, Dja pegi ngan diorang jela eh, Asiah ngantok ni”. Beberapa ketika kemudian suasana sunyi dan kembali menyepi. Rupa-rupanya aku kembali ke alam mimpi semula.

Aku terjaga tatkala telefon berdering nyaring. Terpamer nama pemanggil di skrin namun tak terdaya menyambung bicara kerana masih dalam sedar tak sedar. Akhirnya deringan terhenti dan mataku kian segar disergah suasana rumah yang sangat menyepi. Menyedari bahawa aku tertidur sewaktu menonton drama korea sejak lewat asar tadi, masa yang di ambil agak lama untuk memproses maklumat sedia ada yang terawang-awang di ruang fikiran. Komputer riba ditukarkan mode sekadar menjimatkan tenaga elektrik lalu aku masih di tempat yang sama sehinggalah pintu dikuak Ana.

Setelah mendapat mesej ringkas Fareha: bangun siap, jap lg kita pegi bergambar. Beberapa minit kemudian dengan menaiki kereta Ekien kami berkumpul di depan pintu gerbang untuk berfotografi bersama tanda kenang-kenangan. Tidak lama kemudian, telefonku menjerit nyaring. Terpapar nama Dja sebagai pemanggil. “hello, yer Dja.. dah selesai ker? Tunggu skjp asiah datang amek”. Moto dipandu laju, tergesa-gesa untuk mendapatkan Dja. Terasa janggal bila satu dari kami tercicir untuk memenuhi ruang kamera malam ini. Jujur, keterujaanku berkurang setelah mendapati Dja tiada dalam kalangan kami. Fareha menjelaskan pada awalnya, Dja masih berada di masjid melanjutkan tadarus bersama Jemaah lain. Namun tetap juga hati ini terasa ada sesuatu yang tertinggal. Mungkin hati dan mungkin jua rasa yang memberi petanda buruk akan berlaku.

Brek di tekan perlahan setelah aku menghampiri seorang gadis berkaca mata yang kelihatan monyok dan tidak beriak apa pun. “Dja ok x ni?”. Jawapan disahut, “Dja ok jer…mane kunci Dja nak naik rehat, korang pergilah bergambar”. “ jom cepat, kawan-kawan dah tunggu Dja kat sane”, jawabku. Dalam terpaksa Dja yang masih bertelekung membonceng di belakang tanpa banyak dalih. Perlahan-lahan moto ditukar gear dan bergerak membelah malam. Seiring pergerakan roda, Dja mula bersuara, "Dja tak kisah pun korang nak buat ape tapi kenapa ade jer alasan bila Dja ajak korang pegi masjid untuk ubat rohani kita, Dja faham korang nak manfaatkan saat-saat terakhir  same-same tapi korang kena ingat kita kat sini bukan untuk belajar saje tapi kita kena cukupkan dengan pengisian rohani juga. Bila Dja ajak pegi pengajian ke, dengar ceramah ke, masing-masing tak nak dan beralasan. Dja sedar siapa lah Dja nak tegur-tegur korang. Masing-masing dah besar dan tahu fikir sendiri. dja tak kisah pun korang nak bergambar ke? Nak tengok drama ke movie ke tapi perlu ker paksa-paksa Dja balik bergambar sedangkan Dja tengah bertadarus di masjid tu? Ajakan Dja untuk bagi manfaat pada kita korang tak pernah peduli tapi Dja dipaksa untuk memenuhi permintaan korang sedangkan permintaan Dja ditolak tepi. Dja tak kisah pun sume tu tapi tolonglah jangan manfaatkan detik-detik terakhir ni hanya dengan bergambar saje”. Aku terkelu malah terkaku tatkala terdengar suaranya kian sebak dan hampir menangis. Perasaan menjadi kalut seketika. Tersandar kami di bahu jalan, terasa ingin mendengar segenap luahan Dja yang membuku sejak tadi. Kata-katanya “ Dja tak kisah pun kalo..” sangat di ulang-ulang namun ternyata luahan pedih Dja membuktikan hatinya sakit. Dalam diam hatinya terluka…..

Buat seketika mindaku tercari-cari ayat penenang buatnya. Aku sebolehnya mahu Dja faham kedua-dua situasi yang dialami kini.keterujaan bergambar dan sikap tidak endah ajakannya. Tapi dalam waktu yang sama, aku tidak dapat menepis kelemahan yang aku tunjukkan buatnya. Aku akui, ajakannya pernah ditolak bersebab tetapi bukan bermaksud aku menafikannya Cuma waktu dan keadaan tidak mengizinkan pada ketika itu. Aku ingin Dja mengerti yang aku bukanlah sengaja membiarkan dia terasing tetapi aku miliki musabab sendiri untuk menolak.

Sayu hatiku pabila terdengar luluh suaranya melempar duka namun aku hanya mampu menenangkannya buat seketika. Harapnya Dja tidak simpan di dalam hati. Sebelum meneruskan perjalanan, Dja berpesan agar cerita tersebut tidak dipanjang-panjangkan, cukup hanya di pertengahan jalan tadi. Lalu aku tinggalkan kisah itu berlalu biarpun aku tahu hatinya masih berbekas luka.

Islah Heart <3 arraudhah="" br="" islamy="">

~cinta sahabat untuk sahabat~

A Little Story With A Moral: Within Every Soul There Is A Rose--

A certain man planted a rose and watered it faithfully and before it blossomed, he examined it. He saw the bud that would soon blossom, but noticed thorns upon the stem and he thought, “How can any beautiful flower come from a plant burdened with so many sharp thorns?” Saddened by this thought, he neglected to water the rose, and just before it was ready to bloom, it died.

The Moral: So it is with many people. Within every soul there is a rose. The good qualities planted in us at birth, grow amid the thorns of our faults. Many of us look at ourselves and see only the thorns, the defects. We despair, thinking that nothing good can possibly come from us. We neglect to water the good within us, and eventually it dies. We never realize our potential. Some people do not see the rose within themselves; someone else must show it to them. One of the greatest gifts a person can possess is to be able to reach past the thorns of another, and find the rose within them. This is one of the characteristic of love: to look at a person, know their true faults and accepting that person into your life all the while recognizing the nobility in their soul. Help others to realize they can overcome their faults. If we show them the “rose” within themselves, they will conquer their thorns. Only then will they blossom many times over.

A Love Story.

This is the love story between Zainab bint Muhammad and Abu El'Ass ibn Rabee'; Zainab was the daughter of the Prophet (PBUH) and her cousin Abu El'Ass, was Khadeeja's (RA) nephew. He was one of the nobles of the Quraish, and the Prophet (SAW) loved him very much.

One day Abu El'Ass went to the Prophet (SAW) before he had received his mission of Prophethood and said: "I want to marry your eldest daughter". So the Prophet replied: "I must ask her first". He (SAW) went to Zainab and asked her: "Your cousin came to me and he wishes to marry you, do you accept him as your husband?" Her face turned red with bashfulness and she smiled.

So Zainab married Abu El'Ass, the beginning of a great love story. They had two children; Ali and Omama.

Then Muhammad became a Prophet while Abu El'Ass was away from Makkah. Abu El'Ass returned to find his wife a Muslim. When he first came back, his wife said "I have great news for you". He stood up and left her. Zainab was surprised and followed him as she said, "My father became a Prophet and I have become a Muslim". He replied, "Why didn't you tell me first?" Hence a big problem began between the two; a problem of religion and belief.

She told him, "I wasn't going to disbelieve in my father and his message, he is not a liar, and he is "The Honest and Trustworthy". I'm not the only believer; my mother and my sisters became Muslims, my cousin Ali ibn Abi Taleb became a Muslim, your cousin Othman ibn Affan became a Muslim, and your friend, Abu Bakr, became a Muslim".

He replied, "Well, as for me, I don't want people to say, 'he let down his people and his forefathers to please his wife'. And I am not accusing your father of anything". Then he said, "So will you excuse me and understand?" She replied, "Who will excuse and understand you if I don't? I will stay beside you and help you until you reach the truth." And she kept her word for 20 years.

Abu El'Ass remained an unbeliever, and then came the migration. Zainab went to her father and asked him for the permission to stay with her husband. The Prophet (SAW) replied, "Stay with your husband and children".

So Zainab stayed in Makkah, until the battle of Badr occurred. Abu El'Ass was to fight in the army of Quraish against the Muslims. For Zainab, it meant that her husband will be fighting her father, a time Zainab had always feared. She kept crying out: "O Allah, I fear one day the sun may rise and my children become orphans or I lose my father".

So the battle started, and ended in victory for the Muslims. Abu El'Ass was captured by the Muslims, and news of this reached Makkah. Zainab asked, "What did my father do?" They told her, "The Muslims won". So she prayed to Allah, thanking Him. Then she asked: "What did my husband do?" They said: "He was captured". She said, "I'll send a payment to release him". She didn't own anything of much value, so she took off her mother's necklace, and sent it with Abu El'Ass's brother to the Prophet.

While the Prophet (SAW) was sitting, taking payments and releasing captives, he saw Khadeeja's necklace. He held it up and asked: "Whose payment is this?" They said: "Abu El'Ass ibn Rabee". He cried and said "This is Khadeeja's necklace". As soon as the Messenger of Allah (PBUH) saw that necklace, he had a feeling of extreme compassion and his heart palpitated for the great memory. The Companions who were present there gazed in amazement having being captivated by the magnificence of the situation.

After a long silence, the Messenger of Allah (SAW) stood up and said "People, this man is my in-law, should I release him? And do you accept the return of this necklace to my daughter?" They answered in unison "Yes, Messenger of Allah".

The Prophet (SAW) gave the necklace to Abu El'Ass and said to him: "Tell Zainab not to give away Khadeeja's necklace". Then he (SAW) said, "Abu El'Ass, Can we speak privately?" He took him aside and said, "Allah has ordered me to separate between a Muslim and a disbeliever, so could you return my daughter to me?" Abu El'Ass reluctantly agreed.

Zainab stood on the gates of Makkah waiting for the arrival of Abu El'Ass. When he finally came he said, "I am going away". She asked, "Where to?" He replied, "It is not me who is going, it is you. You are going to your father. We must separate because you are a Muslim". She implored him, "Will you become a Muslim and come with me?" But he refused.

So Zainab took her son and daughter and traveled to Madinah, and for 6 years she refused to remarry, hoping that one day Abu El'Ass would come.

After 6 years, Abu El'Ass was traveling in a caravan from Makkah to Syria. During the journey, he was intercepted by some of the Prophet's companions. He escaped and asked for Zainab's home. He knocked on her door shortly before the dawn prayer. She opened the door and asked him "Did you become a Muslim?" He whispered "No, I come as a fugitive". She implored him once more "Can you become a Muslim?" Again his answer was a negative. "Do not worry." She said, "Welcome my cousin, welcome, the father of Ali and Omama".

After the Prophet (SAW) prayed the dawn prayer in congregation with the people, they heard a voice from the back of the mosque, "I have freed Abu El'Ass ibn Rabee". Zainab had granted Abu El'Ass' freedom. The Prophet (SAW)asked, "Have you heard what I heard?" They all said, "Yes, Messenger of Allah". Zainab said, "He is my cousin and the father of my children and I have freed him". The Prophet (SAW) stood up and said, "O people, I declare that this man was a very good son-in-law, he never broke his promise, and neither did he tell lies. So if you accept, I will return his money back and let him go. If you refuse it's your decision and I will not blame you for it." The companions agreed, "We will give him his money". So the Prophet (SAW) said to Zainab, "We have freed the one you have freed, O Zainab." Then he (SAW) went to her and told her "be generous to him, he is your cousin and the father of your children, but don't let him get near you, he is prohibited for you." She replied, "Sure, father, I'll do as you say".

She went in and told her husband, "O Abu El'Ass, didn't you miss us at all? Won't you become a Muslim and stay with us?" But he refused. Abu El'Ass then took the money and returned to Makkah. Once he returned he stood up and announced, "O people, here is your money. Is there anything left?" They replied, "No, Abu El'Ass, there is nothing left, thanks a lot." So Abu El'Ass said, "I testify that there is no god but Allah, and Muhammed is His Messenger." Then he went back to Madinah and ran to the Prophet (SAW) as he said, "Dear Prophet, you freed me yesterday, and today I say that I testify there is no god but Allah and you are His Messenger." He asked the Prophet, "Will you give me the permission to go back to Zainab?" The Prophet (SAW) smiled and said, "Come with me"; he took him to Zainab's house and knocked on her door. The Prophet (SAW) said, "O Zainab, your cousin came to me and asked if he can return to you". Just like 20 years before, her face turned red with bashfulness and she smiled.

The sad thing was, a year after this incident, Zainab died. Abu El'Ass shed hot tears because of her death and drove those who were around him to tears. The Messenger of Allah (SAW) came with eyes full of tears and a heart full of sorrow. Zainab's death reminded him of the death of his wife, Khadeejah. He told the women, who gathered around Zainab's corpse, "Wash her three times and use camphor in the third wash." He performed funeral prayers on her and followed her final resting place. Abu El'Ass returned to his children, Ali and Omama. Kissing them and wetting them with his tears, he remembered the face of his departed darling.

May Allah be pleased with Zainab, the Prophet's daughter! May He reward her with Paradise for her patience, endurance and struggle!

Abu El'Ass would cry so profusely that the people saw the Prophet himself weeping and calming him down. Abu El'Ass would say, "By Allah, I can't stand life anymore without Zainab". He died one year after Zainab's death.

a priceless gift.

Hiba Ammar writes: When my father proposed to my mother…
He dedicated Surah Al-Imran, which he memorized off heart, as her “Mahr” (dowry) And when my husband proposed to me, my father told him that he would have to memorize a surah of the Quran as my mahr.. The wedding will not go on unless i’v received my mahr :) I was asked to pick one of the surahs… I chose Surah Al-Noor…
 For all the laws that Surah contained within it and for the fact that it seemed hard to memorize on my behalf. And before our wedding day; aside of being busy preparing for our “Newly wedded Nest”…
 The Quran wouldn’t leave my husband’s hand an entire month as he was memorizing the surah…
 A few day before our wedding day, my husband came to recite to my father the surah which he had completed. My father told him every time u make a mistake, u would have to start from the beginning all over again :)) My husband began reciting surah Al-Noor with his calm/gentle voice in such a “beautiful” scene which I will never forget. My mother and I would look at one another and would smile awaiting my husband to make a mistake so he would have to start all over again and by that increase my “Reward”…
But my husband - May Allah bless him - had memorized the surah off heart and didn’t even forget one single verse of it. Once he finished my father hugged him and said to him: “Today I shall marry my daughter to u for u have fulfilled her mahr.. and your pledge to me..” He didn’t pay me a financial mahr… And we didn’t buy gold worth tens of thousands…
 He sufficed me with Allah’s words as an oath/contract between us…
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=675900179094034&set=a.648305375186848.1073741827.648290541854998&type=1&theater 

sepetang bersama Muhd Nawfal...(^^;)

 .dats my boy (^^;)

 nguap pulak die yer....ish3

 nape tenung acik cenggitu?

 ish geram pulak acik kat pipi nawfal...cobit cket buleh?

 alolo nguap lg? empuk sgt ke bantal nih? hik3

 cepat beso tau, nanti boleh masuk upsi cepat cket...hehe (baiknyer die...(^^;)

mish them already (T.T).....

exam MoDe...evrybody pliz wish me LUCK! let pray 2gether alahumma yassirlana...(n_n)V

BERTUNANG BUKAN BERKAHWIN

Soalan: Sejauh manakah seseorang boleh berkenalan dengan tunangnya?

Ifah, Perak

Jawapan: Terima kasih kepada saudari yang bertanya. Soalan ini menunjukkan keperihatinan tentang perkara biasa yang terjadi dalam masyarakat kita. Ia juga menggambarkan saudari sangat mengambil berat tentang perlunya mengikut syari’at dalam kehidupan seharian termasuk perkara yang berkaitan dengan bertunang. Tulisan ini bukan untuk membahaskan tajuk bertunang dalam Islam secara lengkap, hanya jawapan ringkas persoalan di atas.  

1. Bertunang atau dalam bahasa Arab disebut al-khitbah merupakan pintu masuk ke alam perkahwinan. Ia dilakukan selepas seorang lelaki mencari dan berpuas hati dengan semua sifat yang ada bagi seorang wanita untuk dijadikan bakal isterinya. Oleh kerana perkahwinan adalah satu perkara yang serius dan mempunyai impak yang besar maka pertunangan telah disyari’atkan dalam Islam sebagai permulaannya.

gambar hiasan

2. Bertunang ialah seorang lelaki meminta kepada seorang perempuan untuk berkahwin dengannya, kemudian perempuan serta walinya bersetuju. Dalam Islam bertunang adalah  persetujuan dan janji untuk berkahwin yang perlu dihormati oleh orang ramai. Kedua-dua pihak boleh membubarkannya tidak seperti nikah, lafaz talak hanya dimiliki oleh suami. Dr. Mahmud Ali al-Sartowi menyatakan:

Tiadalah pertunangan itu melainkan janji untuk berkahwin, ia merupakan kontrak yang tidak lazim, kedua-dua pihak berhak untuk membubarkan pertunangan pada bila-bila masa sahaja. (al-Sartowi, Syarh Qanun al-Ahwal al-Sahsiah)

3. Seorang lelaki boleh menyatakan hasratnya kepada seorang wanita yang masih anak dara secara terus terang. Namun ia dilarang secara terus terang jika seseorang ingin bertunang dengan perempuan yang masih dalam ‘iddah kematian suami, sebaliknya hendaklah dengan cara kinayah (tidak terus terang). Inilah pertunangan yang disebut di dalam al-Qur’an menerusi fiman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 235 yang bermaksud:

Dan tidak ada salahnya bagi kamu tentang apa yang kamu bayangkan untuk meminang perempuan (yang kematian suami dan masih dalam ‘iddah), atau tentang kamu menyimpan dalam hati (keinginan berkahwin dengan mereka). Allah mengetahui bahawa kamu akan menyebut-nyebut atau mengingati mereka), akan tetapi janganlah kamu membuat janji dengan mereka di dalam keadaan rahsia, selain dari menyebutkan kata-kata (secara sindiran) yang sopan. Dan janganlah kamu menetapkan dengan bersungguh-sungguh (hendak melakukan) akad nikah sebelum habis ‘iddah yang ditetapkan itu.

4. Untuk mengelakkan pergaduhan dan permusuhan sesama muslim dengan hanya kerana seorang perempuan, maka Islam melarang seorang lelaki meminang seorang perempuan yang telah menjadi tunang orang lain. Namun jika lelaki yang pertama mengizinkan atau telah meninggalkannya maka ia tidak dilarang. Diriwayatkan bahawa nabi SAW bersabda yang bermaksud:

Tidak boleh seorang lelaki meminang seorang tunang saudaranya sehinggalah lelaki yang pertama meninggalkannya atau mengizinkannya. (Riwayat al-Bukhari)

5. Bertunang lebih afdhal tidak diwar-warkan atau diiklankan secara terbuka, tidak seperti perkahwinan yang perlu disebarkan. Maknanya pertunangan hendaklah disembunyikan melainkan jika terdapat keperluan. Ini untuk menjaga maruah kedua-dua belah pihak kerana ia merupakan kontrak yang tidak lazim, iaitu kedua-dua pihak lelaki atau perempuan boleh membubarkannya secara mutlak tanpa mendapat persetujuan tunangnya. Diriwayatkan bahawa nabi SAW bersabda yang bermaksud:

War-warkanlah nikah dan sembunyikanlah pertunangan. (Riwayat al-Dailami)

Bertunang bukan berkahwin

6. Bertunang hanyalah janji untuk berkahwin. Ia tidak sama dengan berkahwin yang kesannya seorang wanita (isteri) adalah halal bagi suaminya selepas akad nikah. Manakala bertunang seorang perempuan tidak menjadi halal sedikit pun bagi tunang lelakinya. Ia sama seperti sebelum bertunang, yang berbezanya ialah tidak boleh lelaki lain meminangnya. Ini yang mungkin menjadi punca kekeliruan orang ramai sehingga ada yang menyangka bertunang menjadi ‘lesen’ untuk berpegangan tangan. Tidak kurang yang menjadikannya ‘tiket’ untuk memadu cinta dan sayang.

7. Oleh kerana bertunang adalah janji untuk berkahwin, maka ia boleh jadi akan berlaku atau sebaliknya. Islam mengambil kira perkara itu demi menjaga maslahat kedua-dua pihak khususnya perempuan. Kerana ia melibatkan maruah yang mungkin boleh didedahkan kepada orang ramai sekiranya perkahwinan tidak berlaku. Sebab itu pertunangan tidak menjadikan pasangannya halal sebagaimana halalnya sebuah perkahwinan. Kedua-dua pihak kekal sebagai ajnabi (orang luar) yang hukumnya sama seperti hukum-hakam yang umum bagi ajnabi, antaranya mesti menjaga pandangan. Firman Allah SWT dalam surah al-Nur ayat 30-31, maksudnya:

Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menundukkan pandangan mereka (daripada memandang ang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Demikian itu lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya Allah amat mendalam pengetahuannya tentang apa yang mereka kerjakan. Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menundukkan pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka.

8. Begitu juga tidak boleh menyentuh di antara satu sama lain. Bertunang tidak menjadikan harus perbuatan berpegangan tangan sesama tunang. Apatah lagi naik motor bersama berboncengan sebagaimana yang pernah kita saksikan. Rasulullah SAW memberikan amaran tentang hal ini sebagaimana dalam sebuah hadith yang bermaksud:

Menusuk jarum besi ke kepala kamu adalah lebih baik bagi kamu daripada memegang seorang perempuan yang tidak halal baginya. (Riwayat al-Baihaqi)

9. Suara bagi seorang tunang juga perlu dikawal dengan penuh berakhlak. Bukan tidak boleh bercakap langsung dengan tunangnya, tetapi tidak boleh dimanjakan sebagaimana seorang isteri kepada suaminya. Dalam perkataan lain tidak boleh mengada-ngada atau gedik. Allah SWT melarang suara wanita yang boleh menyebabkan seorang lelaki tertarik kepadanya, firmanNya dalam surah al-Ahzab ayat 32 bermaksud:

Maka janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki ajnabi) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik.

                    

10. Selain itu, seorang perempuan juga tidak boleh mendedahkan perhiasannya kepada tunangnya. Auratnya masih wajib ditutup kerana tunangnya masih dianggap ajnabi. Jika ingin bertemu atau berjumpa mestilah bersama dengan mahramnya. Diriwayatkan bahawa nabi SAW bersabda yang bermaksud:

Seorang lelaki tidak boleh bersunyian dengan seorang wanita melainkan bersama dengan mahram. (Riwayat al-Bukhari)

Hubungan dalam tempoh bertunang

11. Tempoh bertunang ada yang pendek dan ada yang panjang. Ia berbeza-beza mengikut perbezaan situasi seseorang dengan seorang yang lain. Namun yang lebih baik adalah tempoh yang singkat untuk mengelakkan maksiat dan keburukan yang timbul daripada kedua-dua pihak. Semakin panjang tempoh bertunang semakin banyak kehendak dan permintaan yang diluar kawal dan tidak patuh syari’at.

12. Tidak dinafikan tempoh pertunangan ini boleh dianggap tempoh untuk berkenalan. Tetapi ramai yang tersilap dengan menyangka bahawa ia adalah berkenal-kenalan sesama tunang, sedangkan berkenalan yang dimaksudkan adalah berkenalan dengan ahli keluarga perempuan agar menjadi lebih dekat dan diyakini oleh keluarga tunangnya. Akhirnya ia melahirkan rasa tangggungjawab yang kemudian Allah Azza wa Jalla bakal menganugerahkan kepadanya sakinah dan mawaddah apabila berkahwin kelak insyaAllah sebagaimana firmanNya dalam surah al-Rum ayat 21:

Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaanNya dan rahmatNya, bahawa Dia menciptakan untuk kamu, isteri-isteri daripada jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan.

13. Berkenalan ini yang sering disalahgunakan untuk menghalalkan perbuatan tertentu seperti keluar makan bersama, duduk berdua-duaan sama ada di alam nyata atau alam maya, study dan siapkan assignment bersama, serta bertukar-tukar gambar. Apabila ditanya mengapa lakukan semua itu? Jawabnya mudah: untuk lebih mengenalinya supaya senang bila kahwin nanti. Semua ini hanya alasan semata-mata untuk menutup kemahuan hawa nafsunya. Sedangkan untuk mengenali dan menyelidik latar belakang tunang sepatutnya dilakukan sebelum bertunang lagi iaitu ketika proses memilih dan istikharah, bukannya selepas bertunang. Kerana bertunang maknanya kita telah membuat pilihan.

14. Tempoh bertunang sepatutnya menjadi tempoh yang bersih dan suci daripada sebarang dosa, kerana kita sedang memulakan langkah untuk membina sebuah kehidupan yang punyai matlamat yang besar. Langkah-langkah permulaan ini perlu baik dan tidak sumbang. Jadikan ia kukuh dengan kekuatan taqwa dan taat. Jika tempoh ini dicemari dengan perbuatan yang bercanggah dengan syara’ dikhuatiri ia memberikan kesan yang besar kepada rumah tangga yang bakal dibina.  Firman Allah SWT dalam surah al-Taubah ayat 109 bermaksud:

Maka adakah orang yang membangunkan binaannya yang didirikan di atas dasar taqwa kepada Allah dan (untuk mencari) keredaan Allah itu lebih baik, ataukah orang yang membangunkan binaannya yang didirikannya di tepi jurang yang (hampir) runtuh, lalu runtuhlah ia dengan yang membangunkannya ke dalam api neraka?

15. Atas dasar inilah kita dapati terdapat ilmuan yang agak keras jawapannya dengan tidak membenarkan segala perhubungan dalam tempoh bertunang. Mereka menggunakan kaedah sadd al-zarai’e (menutup jalan) kerana bimbang akan mudharat yang tidak dinafikan peratus berlakunya. Lihat sahaja kes pembuangan bayi, tangkapan khalwat dan masalah sosial. Pandangan seumpama ini tidak salah kerana kaedah yang digunapakai ada asasnya.

16. Manakala pendapat yang mengatakan boleh berkenalan dalam tempoh bertunang, berhubung, berjumpa dan menjaga tunangnya, pastinya mereka tidak mengatakan secara mutlak, sebaliknya mesti mengikut syarat-syarat dan garis panduannya. Sebenarnya kedua-kedua pandangan tidak bercanggah di antara satu sama lain, matlamatnya satu hanya kaedah yang berbeza.

17. Kesimpulannya, Islam adalah cara hidup yang mengatur dan memandu manusia hatta dalam soal bertunang. Ia merupakan janji yang perlu dijaga agar mengikut panduan syara’ kerana bertunang bukannya berkahwin. 

Anhar Opir

11 Jumada al-Akhir 1433H

Sweileh, Amman

sumber: http://hjanhar.blogspot.com/2012/05/bertunang-bukan-berkahwin.html